Paham Gereja sebagai umat Allah, membuahkan bagaimana Gereja kita sekarang ini dikembangkan dan bersikap. Khususnya menyangkut bagaimana p...
Paham Gereja sebagai umat Allah,
membuahkan bagaimana Gereja kita sekarang ini dikembangkan dan bersikap.
Khususnya menyangkut bagaimana pola kepemimpinan Gereja. Pada bagian ini kita
akan melihat dan mengenal model-model yang dikembangkan dalam kepemimpinan
Gereja kita, dan bagaimana persatuan itu dibangun dari anggota dan para
pemimpinnya dalam keterbukaan dan partisipasi sebagai umat beriman untuk
berkarya bagi dunia.
1.Perubahan Cara Pandang tentang
Model Gereja
Sebelum
Konsili Vatikan II,
Gereja kita dipahami dengan begitu piramidal, bahwa yang sedikit berada di atas
dan menguasai yang bawah. Walau sedikit tetapi menguasai. Dalam pola pikir yang
demikian, hierarki inilah yang berkuasa menentukan segala sesuatu bagi seluruh
Gereja, sedangkan kaum awam atau umat pada umumnya tinggal mengikuti.
Seringkali, model ini lebih cenderung “pastor sentris”. Hierarki atau pastor
menjadi pusat semua gerak Gereja. Gereja model piramidal ini sering disebut
sebagai Gereja Institusional. Model Gereja ini menonjol atau dikenal karena
tertata rapi, dan para hierarki hampir identik atau disamakan dengan Gereja itu
sendiri. Mereka yang tertabhis memegang kepemimpinan dan mengendalikan Gereja
dengan cakupan wewenang yang luas. Biasanya karena lebih mementingkan aturan.
Gereja menjadi statis dan sarat aturan. Gereja sering meresa sebagai
satu-satunya penjamin kebenaran dan keselamatan (Extra Eclesiam Nulla Salus),
bahkan bersikap triumfalistik. (memegahkan diri).
Pada
Konsili Vatikan II,
pandangan Gereja yang lebih piramidal ini akhirnya diperbaiki. Ada keterbukaan
dan pembaruan cara pandang. Gereja dipahami bukan lagi sebagai Gereja Piramidal
yang lebih “hierarki sentris”, tetapi diubah menjadi “Kristosentris”. Artinya,
Kristuslah pusat hidup Gereja. Kaum hierarki dan awam serta biarawan/biarawati
mengambil bagian dalam tugas Kristus dengan cara yang berbeda-beda sesuai
dengan potebsi dan kemampuannya. Hal inilah yang akhirnya membawa Gereja
dipandang sebagai persekutuan umat atau umat Allah. Dengan persekutuan umat
sebenarnya mau mengungkapkan persaudaraan yang dilandasi oleh kasi. Setiap
anggota Gereja melibatkan diri dalam tugas masing-masing untuk membangun
Gereja. Tida ada yang merasa lebih hebat atau merasa paling memiliki wewenang,
tetapi seluruh umat terjun membangun persekutuan hidup. Tidak hanya sekedar
aturan dan hukum dalam hidup menggereja, tetapi yang lebih penting adalah
tumbuh dan berperannya hati nurani dan tanggung jawab atas perkembangan Gereja.
Gereja bersikap terbuka dan rela berdialog untuk semua orang. Gereja menyakini
bahwa di luar Gereja terdapat keselamatan.
2. Gereja sebagai Persekutuan
Umat yang Terbuka Gereja adalah persekutuan Umat Allah.
Dalam persekutuan umat itu, semua
anggota mempunyai martabat yang sama, memiliki fungsi yang berbeda-beda, dan
semakin terbuka terlibat mewarnai dunia. Gereja hadir dan berada untuk dunia.
Kegembiraan dan harapan, dukan dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus. Sebab persekutuan murid-murid
Kristus terdiri atas orang-orang yang dipersatukan di dalam Kristus, dibimbing
oleh Roh Kudus dalam peziarahan menuju Allah Bapa. Semua murid Kristus telah
menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang (bdk. Gaudiumet
Spes art. 1). Panggilan Gereja yang utama ialah menjadi utusan Kristus untuk
menampakkan dan menyalurkan cinta kasih Allah kepada semua orang dan segala
bangsa. Tugas perutusan ini adalah tugas seluruh umat Allah (LG art 17),
masing-masing seturut kemampuannya. Baik kaum hierarki maupun kaum awam serta
biarawan-biarawati mendapat tugas perutusan yang sama.
Konsili menegaskan dengan jelas
kewajiban ini, yaitu untuk umat Allah yang hidup dalam jemaat-jemaat, terutama
dalam keuskupan-keuskupan dan paroki-paroki, jemaat-jemaat wajib memberi
kesaksian akan Kristus di hadapan segala bangsa. Persekutuan umat Allah harus
menampakkan karya keselamatan Allah di dunia ini.
Secara singkat dapat dikatakan
bahwa Gereja menjadi tanda dan sarana (sakramen) keselamatan bagi dunia. Setiap
anggota Gereja dengan caranya sendiri terlibat dan menggeluti
persoalan-persoalan dunia untuk membangun dan menyejahterakan umat manusia, setiap
anggota Gereja mendapat tugas berdasarkan potensi dan kemampuannya bagi
terciptanya tata dunia yang lebih baik.
Dengan demikian anggota Gereja
sungguh menyadari bahwa bukan hanya dirinya satu-satunya yang terlibat di dalam
masyarakat dengan segala persoalan yang ada. Gereja pada zaman sekarang harus
menjadi persekutuan yang terbuka. Dan perlu disadari pentingnya ketebukaan,
bukan hanya keterbukaan dengan sesama dalam iman dan keyakinan melaikan
keterbukaan terhadap agama yang lain, artinya kita membuka berbagai kemungkinan
dialog dan kerjasama yang baik dengan segala pihak yang berjuang bersama.
Dalam dialog iman dan kerjasama
lintas agama, dapat menumbuhkembangkan realitas sosial sebagai milik bersama.
Dialog kehidupan dan karya yang dikembangkan dapat menjadi tempat kerja sama
dalam menyikapi persoalan-persoalan kemanusiaan dan sosial kemasyarakatan demi
memajukan kita semua sebagai manusia ke taraf yang lebih manusiawi dan luhur.
Dalam Kisah Para Rasul 4:32-37, Santo Paulus memberikan gambaran ideal tentang
suasana dan cara sebuah persekutuan umat perdana.
Cara hidup umat perdana
memberikan kita buah kesadaran bahwa kebersamaan dalam persekutuan itu penting.
Hal-hal yang dapat terlihat, misalnya, segala sesuatu adalah milik bersama,
hidup dalam persaudaraan kasih, saling memberi dan menerima sesuai kebutuhan,
terbuka untuk semua orang, semangat dan keteladanan inilah yang dapat kita
contoh, yaitu kepekaan terhadap situasi sosial-ekonomi sesama saudara dalam
persekutuan umat. Kebersamaan kita dalam hidup menggereja tidak hanya terbatas
pada hal-hal rohani, tetapi juga harus menyentuh kehidupan sosial, ekonomi,
politik, dan budaya. Persekutuan umat Allah harus terbuka dan menyentuh relung
jiwa setiap anggotanya. Gereja hadir di dunia bukan untuk dirinya sendiri,
melainkan bagi dunia itu sendiri. Dalam persekutuan mereka mengalami dirinya
sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarannya (bdk: gaudium et
spes, art 1) karena, persekutuan mereka terdiri atas orang-orang yang
dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam perziarahan mereka
menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan
kepada semua orang.
Cara-cara yang ditempuh Gereja
untuk menunjukkan keterbukaannya: pertama,
Berdialog dengan agama lain. Gereja sesudah Konsili Vatikan II sungguh
menyadari bahwa di luar agama Katolik terdapat pula benih-benih kebenaran dan
keselamatan. Untuk itu dibutuhkan dialog untuk saling mengenal, menghargai dan
memperkaya. Kedua, Kerja sama atau
dialog. Gereja hendaknya membangun kerjasama yang lebih intensif dan mendalam
dengan para pengikut agama-agama lain. Sasaran yang hendak diraih adalah
pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia. Berprestasi secara aktif
dan bekerja sama dengan siapa saja dalam membangun masyaarkat yang adil, damai
dan sejahtera.
Lebih rinci untuk dapat
menghayati konsekuensi Gereja sebagai umat Allah dan pesekutuan yang terbuka,
kita juga perlu melihat lebih detil atas konsekuensi yang harus dihadiapi dari
setiap anggota umat Allah.
a. Hierarki Gereja.
Adalah orang yag ditabhiskan
untuk tugas kegembalaan. 2 tugas hierarki adalah; pertama, menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman.
Hierarki mempersatukan umat beriman, tidak hanya petunjuk, nasehat dan teladan
tetapi juga dengan kewibawaan dan kekuasaan kudus. Kedua, Hirarki menjalankan tugas-tugas gerejani, seperti merayakan
sakramen, mewartakan sabda, serta memberi ruang dan tempat bagi umat untuk
berperan aktif dalam ikut membangun Gereja dengan kharisma dan karunia yang
mereka miliki.
Gereja yang satu, kudus, Katolik
dan apostolik di dunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, lebih khusus
lagi sebagai suatu “serikat yang dilengkapi dengan jabatan hierarkis” (Lumen
Gentium 8). Menurut ajaran resmi Gereja, struktur hierarkis termasuk hakikat
kehidupannya juga. Maka Konsili mengajarkan bahwa “atas penetapan Ilahi, para
Uskup menggantikan para Rasul sebagai gembala Gereja” (Lumen Gentium 20).
“Konsili suci ini mengajarkan dan menyatakan, bahwa Yesus Kristus, Gembala Kekal,
telah mendirikan Gereja kudus, dengan mengutus para Rasul seperti Ia sendiri
diutus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21). Para pengganti mereka, yakni para Uskup,
dikehendaki-Nya menjadi gembala dalam Gereja-Nya hingga akhir zaman” (Lumen
Gentium 18).
b. Biarawan-biarawati Adalah
anggota umat yang mengucapkan kaul kemiskinan, ketaatan dan keperawanan selalu
bersatu dengan kristus dan menerima pola nasib hidup Yesus secara radikal. Para
biarawan-biarawati menjadi tanda nyata hidup dalam Kerejaan Allah
c. Kaum Awam Kaum Awam; adalah:
semua orang beriman sebagai warga gereja yang tidak ditahbiskan Jadi awam
meliputi biarawan, biarawati seperti suster, bruder (definisi teologis) . Kaum
awam adalah semua warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan-
biarawati (definisi tipologis) yang dengan rahmat pembaptisannya mereka menjadi
anggota gereja dan dengan caranya sendiri mengambil bagian dalam tugas kristus
sebagi imam, nabi dan raja.
Kaum awam berperan dalam dalam dua tugas kesarulan, baik kerasulan dalam
membangun jemaat serta kerasulan dalam tata dunia. Gereja tidak hadir di
dunia untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk dunia yang menjadi peranan kaum
awam. Berdasarkan panggilan khasnya, awam bertugas mencari Kerajaan Allah
dengan mengusahakan hal-hal duniawi dan mengaturnya sesuai dengan kehendak
Allah. Mereka hidup di dunia, yakni dalam semua dan setiap jabatan serta
kegiatan dunia. Mereka dipanggil untuk menjalankan tugasnya dan dibimbing oleh
semangat injil, mereka dapat menguduskan dunia laksana ragi. Medan tugas mereka
adalah tata dunia, hidup berkeluarga dan bermasyarakat serta hidup dalam segala
bidang keduniawian ipoleksosbuhankamnas.
3. Struktur Kepemimpinan Hirerki
Gereja :
ü
Dewan
para Uskup, dengan Paus sebagai kepalanya pada akhir masa Gereja perdana, sudah
diterima bahwa para uskup adalah pengganti para rasul. tetapi tidak berarti
bahwa hanya ada dua belas uskup. Tugas dewan para uskup adalah menggantikan
dewan para rasul, yang menjadi pimpinan Gereja adalah dewan para Uskup. Sebagai
ketua dewan rasul adalah Petrus. Paus, Adapun dewan para uskup adalah dia yang
bersatu dengan imam Agung di Roma pengganti Petrus. Sebagai tugas imam agung di
Roma adalah sebagai wakil Kristus dan gembala Gereja semesta, mempunyai kuasa
penuh, tertinggi dan universal terhadap Gereja.
ü
Uskup,
Tugas pokok uskup adalah mempersatukan dan mempertemukan umat. Tugas tersebut
dibagi dalam tiga tugas, yaitu : pewartaan, perayaan dan pelayanan.
ü
Sedangkan
pembantu Uskup adalah Para imam adalah wakil uskup. Tugas konkrit imam sama
seperti uskup, untuk mewartakan Injil dan menggembalakan umat beriman.
ü
Para
Diakon : adalah pembantu khusus uskup di bidang materi. Mereka yang ditumpangi
tangan bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan Kardinal adalah penasihat
utama Paus, membantu paus terutama dalam reksa harian seluruh Gereja.
Kepemimpinan Gereja bercorak
1). Kepemimpinan dalam gereja
merupakan suatu panggilan khusus.
2). Kepemimpinan dalam gereja
bersifat mengabdi dan melayani dalam arti semurni-murninya.
3). Kepemimpinan hierarki berasal
dari Tuhan, maka tidak dapat dihapus oleh manusia.
Dalam Konsili Vatikan II, ada 3
hal penting dan menjadi dasar persekutuan umat Allah yang terbuka, “fraternitas” (persaudaraan), solidaritas
(kesetiakawanan) dan komunikasi (persekutuan). Dasar persekutuan tersebut
adalah iman. Gereja sebagai persekutuan dalam iman, harapan dan kasih (Lumen
Gentium art 8). Gereja juga disebut sebagai persekutuan orang-orang yang sudah
dikuduskan oleh Kristus dengan misteri salib-Nya, sehingga umat Allah
mewujudkan sebuah komunitas keselamatan bagi dunia.
COMMENTS