Manusia adalah makhluk berharga, diciptakan Allah sebagai citra-Nya. Sepantasnyalah kita saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Pribadi kita sebagai manusia yang berharga, kita diciptakan Allah sebagai citra-Nya. Sepantasnyalah kita setiap manusia saling menghormati dan menghargai, walaupun ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam perbedaan itu manusia diajak untuk menyadari bahwa setiap pribadi mempunyai keutuhan, tidak hanya secara fisik, tetapi juga rohani. Setiap manusia mempunyai pikiran, perasaan, kehendak, dan tindakan, segalanya tak hanya bersifat fisik dan mekanis, tetapi didasari olah jiwa yang membuat manusia berperasaan dan berkehendak, keluhuran martabat inilah yang seharusnya menyadarkan kita untuk selalu mengembangkan dan mempersembahkan segala yang telah dikaruniakan Allah kepada kita dengan sebaik mungkin.
A. SEMUA
MANUSIA SECITRA
Pribadi
manusia merupajan pribadi yang secitra dengan Allah. Allah menganugerahkan
berkat pada setiap pribadi tanpa terkecuali, walaupun dengan keterbatasan
masing-masing. Semua manusia adalah satu saudara dan luhur adanya.
1. Semua
Manusia Sesama dan Saudara dalam Allah.
Kita
semua adalah pribadi manusia yang diciptakan Allah. Setiap dari kita adalah
pribadi yang paling luhur, menjadi berkat bagi sesame. Dalam Kitab Nabi Yeremia
dikatakan, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal
engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau,
Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa” (Yer 1:5). Dengan
demikian dapat dikatakan lewat kutipan teks tersebut mau mengatakan betapa Allah
telah memberikan karunia keluhuran bagi setiap pribadi. Anugerah yang diberikan
sebelum kita di lahirkan di dunia. Anugerah, bahwa kita semua berarti dan
dipilih oleh Allah dalam situasi apapun, dengan segala kekurangan dan kelebihan
yang kita miliki.
Dalam
kekurangan dan kelebihan itu baik secara fisik, tetaplah merupakan pribadi yang
bermartabat. Martabat itu tentu bukan diukur dari segi badan dan lahiriah,
tetapi dari siapakan diri kita sebenarnya, yaitu pribadi yang telah diciptakan
Allah sesuai dengan citra-Nya (seturut gambar dan rupa-Nya). Citra Allah
menunjukkan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan yang paling mulia, kita
menyerupai Allah (bdk. Mzm 8:5). Citra itu pancaran. Manusia
mencerminkan atau merupakan pancaran dari Allah. Artinya, bahwa di dalam
martabat setiap pribadi manusia, dapat dilihat gambaran dan pantulan rupa
Allah. Semua pribadi manusia tercipta baik adanya, dengan segala kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki, manusia tetap manusia yang bermartabat. Dalam diri
setiap pribadi, kita percaya ada pancaran kebaikan-kebaikan Allah.
Dan
karena kita semua adalah citra Allah, maka kita harus menghargai sesame manusia
dengan segala kelebihan dan kekurangan baik secara fisik-lahiriahnya dan
sifat-sifatnya, kita berkewajiban menjada dan mengembangkan martabat.
Mengembangkan kebaikan-kebaikan dan segala sesuatu yang kita lakukan supaya
bermanfaat bagi sesame kita, apapun bentuknya. Karena semua manusia sesame dan
saudara dalam Allah.
2. Sikap
dan Tindakan Manghargai Sesama
Manusia
adalah citra Allah, dalam konteks hidup sekarang, kita banyak melihat berbagai
peristiwa hidup yang terkadang berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita
harapkan. Lewat media massa kita banyak melihat peristiwa-peristiwa kekerasan
yang sangat memprihatinkan, manusia tidak dihargai martabatnya. Konflik
kepentingan yang terkadang tidak lepas dari isu SARA muncul begitu banyak di
wilayah Indonesia, mulai dari Ambon sampai Papua. Tidak ketinggalah tindakan
terorisme, yang merenggut nyawa tidak sedikit. Martabat manusia seakan menjadi
sebuah barang mainan yang dapat dipermainkan seenaknya.
Ada
beberapa sebab yang dapat memunculkan konflik. Salah satu sebab munculnya
konflik adalah perbedaan, perbedaan yang dibawa setiap individu dalam suatu
interaksi bersama orang lain. Sebab lain adalah perasaan terancam, orang atau
golongan yang merasa teracam akan cenderung bersikap fanatik, misalnya
munculnya isu Kristenisasi atau Islamisasi dapat membuat kedua kelompok
bersikap fanatik.
Banyak
cara telah dilakukan demi perdamaian. Dialog menjadi tema utama dalam setiap
penyelesaian konflik. Yang diharapkan bahwa dialog bukan semata-mata pertemuan
dua kelompok atau lebih, melainkan tindakan nyata dan konkret demi terciptanya
perdamaian. Jika cara berfikir kita hanya sebatas, bahwa orang lain adalah
“obyek”, maka orang lain dipandang selalu sebagai “yang lain”. Jika demikian,
maka yang terjadi adalah bahwa kita selalu menolak keberadaan pribadi orang
lain sebagai seseorang yang berharga dan sederajat dengan kita. Sehingga kita
melihat orang lain lebih rendah, tidak bermarabat, tidak bermoral dan
sebagainya. Dampak dari sikap ini adalah kekerasan, pembunuhan, bahkan
penghancuran kelompok tertentu. Kekerasan yang terjadi ini sebenarnya
dilatarbelakangi atas proses berfikir yang sempit, yaitu bagaimana manusia
memandang sesame sebagai hubungan subyek dan obyek.
Melalui
konflik, seharusnya kita disadarkan betapa pentingnya kita saling mengoreksi
diri, betapa masih banyak kekurangan yang ada dalam diri kita berhubungan
dengan orang lain. Keterbukaan hati untuk saling memahami, menjadi titik awal
bagaimana sebuah kedewasaan dibangun. Membangun sikap positif dalam
berkomunikasi dengan orang lain, menghormati dan menghargai orang lain secara
tulus memungkinkan kesalahpahaman dan konflik dapat dihindari. Bersikap dan
berfikir positif terhadap orang lain mempunyai unsur-unsur, diantaranya
kesediaan mendengarkan, menghargai pendapat, dan melibatkan diri (berempati).
Dengan ini orang akan memiliki harga diri sehingga akan membantu menciptakan
komunikasi yang bermakna dan mendalam. Sikap ini perlu diperkuat dengan cara
pandang kita untuk menjauhkan diri dari sikap yang berlebihan. Menghargai
kemajemukan dengan berfikir dan bersikap terbuka atau inklusif.
Dalam
Kitab Suci digambarkan dengan jelas bagaimana manusia yang diciptakan secitra
dan segambar dengan Allah itu diharapkan mampu memancarkan kasih Allah kepada
sesama.
a. Kesetaraan martabat,
setiap manusia memiliki kesataraan martabat dan hak asasi dihadapan Allah.
Manusia diciptakan sebagai “Citra Allah” (Kej 1:27), atau “Gambaran Allah yang
tak kelihatan (Kol 1:15), yang dipanggil untuk menjadi “Anak Allah” (Yoh 3:1-2)
b. Pluralisme atau
kemajemukan adalah suatu kenyataan. Perbedaan yang ada sebagai salah satu jalan
untuk menyempurnakan satu sama lain. Seperti halnya tubuh, banyak anggota
tetapi satu tubuh. Beberapa talenta, kurnia dan panggilan, tetapi satu rekan
sekerja Allah (1Kor 1:10 ; Rom 12)
c. Ada perbedaan, dapat
membantu orang untuk mawar diri, sehingga tidak mudah untuk menghakimi atau
mengadili orang lain. Serahkan penghakiman itu pada Allah. Hendaknya kita suka
mengampuni orang lain, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita
(Mat 7:1-5; Luk 6:37-42; Ef 4:32)
d. Hukum cinta kasih, adalah
dasar utama mengapa kita harus toleran kepada sesama. Cinta berarti menerima
orang lain apa adanya sesuai dengan identitasnya yang berbeda atau justru
karena identitasnya yang berbeda. Yesus mengajarkan kita untuk saling mencintai
tanpa syarat. (Luk 10:25-37).
Dengan
demikian menjadi jelas, orang diharapkan mampu memancarkan kasih Allah kepada
sesame, dengan sikap dan tindakan itu manusia menunjukkan tugasnya yang utama
sebagai citra Allah.
3. Upaya
Menjaga Keluhuranku Sebagai Manusia.
Hidup
kita sebagai manusia merupakan anugerah yang luar biasa yang patut untuk
diperjuangkan. Kehidupan demikian besar artinya “Hidup ditandai ciri yang tak
terhapuskan, yaitu kebenarannya sendiri, dengan menerima karunia Allah, manusia
wajib mempertahankan hidup dalam kebenaran itu yang memang hakiki baginya (EV.
Art 48). Perjuangan kita untuk mempertahankan hidup betapa hakikinya kehidupan
ini, menjadi tonggak yang tak pernah ada habisnya.
Kalau
kita melihat perjalanan sejarah, muncul begitu banyak persoalan yang
menghancurkan harkat dan martabat serta keluhuran manusia, di satu sisi. Banyak
orang yang berjuang untuk mengatasi ancaman tersebut. Ketidakadilan dan
penindasar harkat manusia terjadi, disitulah muncul perlawanan. Kita lihat
peristiwa di Amerika Latin, terjadi penindasan terhadap kaum miskin, oleh para
tuan tanah dan penguasa. Di mana peristiwa tersebut melahirkan
pengorbanan Uskup Oscar Romero dan beberapa Jesuit dan
perempuan. Peristiwa ini melahirkan refleksi yang mendalam betapa perjuangan
mempertahankan keadilan menuai tantangan yang begitu besar, butuh pengorbanan. Mahatma
Gandhi, mengusahakan sebuah gerakan “ahimsa”, betapa melalui kekerasan
yang begitu besar, kelembutan dan cinta damai menjadi bagian perjuangan yang
harus diangkat. Bunda Teresa dari Kalkuta, memberikan
tangannya dalam mengabdikan diri kepada kehidupan, kepad mereka yang miskin dan
tersingkir, untuk mengangkat mereka supaya bermartabat seperti manusia yang
lainnya.
Kehidupan
adalah milik Allah sebagai sumber segala kehidupan. Allah senantiasa berbelas
kasih kepada manusia untuk mengangkat manusia ke dalam kemuliaan. Dan setiap
orang menurut kodratnya memiliki hak hidup, hak untuk mendapatkan kehidupan
yang layak, aman, dan damai, tempat tinggal yang nyaman. Hak untuk tumbuh dan
berkembang secara penuh, memperolah keadilan dan cinta, perlindungan dan segala
sesuatu yang membuat sesorang merasa terlindungi. Setiap orang memiliki
kesetaraan martabat dan hak asasi di hadapan Allah. Manusia diciptakan sebagai
“citra Allah” (Kej 1:27).
COMMENTS