ABORSI Mengapa aborsi itu dosa. Gereja Katolik ‘pro- life‘ karena Tuhan mengajarkan kepada kita untuk menghargai kehidupan, yang dipero...
ABORSI
Mengapa aborsi itu
dosa. Gereja Katolik ‘pro- life‘ karena Tuhan
mengajarkan kepada kita untuk menghargai kehidupan, yang diperoleh manusia
sejak masa konsepsi (pembuahan) antara sel sperma dan sel telur. Kehidupan
manusia terbentuk pada saat konsepsi, karena bahkan dalam ilmu pengetahuan-pun
diketahui, “Sebuah zygote adalah sebuah keseluruhan manusia yang unik.” Pada
saat konsepsi inilah sebuah kesatuan sel manusia yang baru terbentuk, yang lain
jika dibandingkan dengan sel telur ibunya, ataupun sel sperma ayahnya. Pada saat
konsepsi ini, terbentuk sel baru yang terdiri dari 46 kromosom (seperti halnya
sel manusia dewasa) dengan kemampuan untuk mengganti bagi dirinya sendiri
sel-sel yang mati. Analisa science menyimpulkan bahwa fertilisasi bukan suatu
“proses” tetapi sebuah kejadian yang mengambil waktu kurang dari satu detik.
Selanjutnya, dalam 24 jam pertama, persatuan sel telur dan sperma bertindak
sebagai sebuah organisme manusia, dan bukan sebagai sel manusia semata-mata.
Mengapa aborsi itu dosa
Masalahnya, orang-orang
yang “pro-choice” tidak menganggap bahwa yang ada di dalam kandungan itu adalah
manusia, atau setidaknya mereka menghindari kenyataan tersebut dengan berbagai
alasan. Padahal science sangat jelas mengatakan terbentuknya sosok manusia
adalah pada saat konsepsi (pembuahan sel telur oleh sel sperma). Pada saat
itulah Tuhan ‘menghembuskan’ jiwa kepada manusia baru ciptaan-Nya, yang kelak
bertumbuh dalam rahim ibunya, dapat lahir dan berkembang sebagai manusia
dewasa. Adalah suatu ironi untuk membayangkan bahwa kita manusia berasal dari
‘fetus’ yang bukan manusia. Logika sendiri sesungguhnya mengatakan, bahwa apa
yang akan bertumbuh menjadi manusia layak disebut sebagai manusia.
1. Berbagai Macam
Abortus
Ada berbagai macam
abotsi yang kita kenal selama ini, sebagaian diantaranya adalah sebagai berikut
:
a.
Abortus provocatus (direct
abortion)
Adalah
upaya pencegahan kelahiran melalui tindakan yang secara langsung bertujuan
untuk membunuh bayi yang masih ada dalam kandungan
b.
Aborsi tak langsung (inderict
abortion)
Adalah
upaya penyelamatan seorang ibu dalam keadaan hamil, yang mengidap tumur ganas
dalam rahimnya. Upaya tersebut dilakukan melalui opreasi yang mengandung resiko
bahwa bayi yang ada dalam kandungan akan ikut terangkat. Kematian bayi bukanlah
merupakan tujuan, melainkan akibat dari tindakan medis.
c.
Abortus spontaneus (tidak sengaja)
Adalah
peristiwa kematian bayi dalam kandungan, namun tidak disengaja/tidak disadari
oleh ibu yang bersangkutan.
2. Cara Melakukan
Aborsi
Istilah aborsi yang
dimaksud selama ini lebih diartikan sebagai abortus provocatus, tindakan
yang menghilangkan bayi dari kandungan atau mencegah kelahiran bayi yang
dilakukan dengan sengaja.
Macam-macam cara
melakukan aborsi di antaranya dilatasi/kuret, penyedotan, peracunan, ceasar,
dan pengguguran kimia.
1) Dilatasi/Kuret.
Lubang rahim diperbesar, agar rahim
dapat dimasuki kuret, yaitu sepotong alat yang tajam.
2) Kuret
dengan cara penyedotan
Kuret dengan cara penyedotan dilakukan
dengan memperlebar lobang rahim, kemudian sebuah kantung dimasukan ke dalam
rahim dan dihubungkan dengan alat penyedot yang kuat.
3) Peracunan
dengan Garam
Pengguguran dengan peracunan garam ini
dilakukan pada janin berusia 16 minggu (4bulan).
4) Histerotomi/Caesar
Terutama dilakukan bulan terakhir dari
kehamilan.
5) Pengguguran
Kimia Prostaglandin
Menggunakan bahan-bahan kimia yang dikembangkan.
3. Alasan Orang
Melakukan Pengguguran (Aborsi)
Ada banyak alasan orang
melalukan aborsi. Diantara alasan-alasan itu ada ayng sama sekali tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara moral. Walaupun begitu tetap tidak dapat menjadi
bahan pembenaran dalam Gereja.
a. Alasan
Sosial Ekonomi (Malu, Belum Siap)
Alasan ini dikarenakan kehamilan yang
tidak dikehendaki, sebagai akibat hubungan diluar nikah, hubungan gelap. Karena
merasa malu atau belum siap baik secara mental maupun ekonomi, lalu yang
bersangkutan melakukan aborsi.
b. Alasan
Eugenis (Anak Cacat Kandungan)
Setelah diketahui bahwa anak yang masih
di dalam kandungan ternyata cacat, lalu orang tua merasa kasihan, kemudian
memutuskan untuk menggugurkan anak ini, alasanya adalah dari pada anak lahir
dan hidupnya menderita karena cacat, lebih baik digugurkan saja.
c. Alasan
Psiko-Sosial (Perkosaan, Incest)
Kasus kehamilan akibat pemerkosaan atau hubungan
dengan saudara sendiri tak jarang menimbulkan dilema atau ketegangan. Keluarga
yang terkena kasus semacam ini tentu akan malu dan secara publik kehormatan dan
status sosialnya seakan-akan menjadi hancur.
Namun demikian ada
alasan yang mungkin dapat diterima secara moral, dalam kasus medis yang
dimungkinkan seorang dokter harus memilih nyawa ibu atau bayi, contoh ibu yang
sedang hamil dilakukan tindakan medis karena ditemukan kangker dalam rahimnya,
maka perlu dilakukan tindakan medis yang memungkinkan resiko kematian bayi.
Jadi, pada dasarnya
menghilangkan anak yang ada dalam kandungan dengan alasan apa pun. Tidak akan
menyelesaikan masalah, justru akan menambah masalah baru yang lebih rumut.
Karena berurusan dengan kehidupan. Hidup adalah anugerah Allah, dan hidup harus
dijaga, dirawat, dan dikembangkan terus.
4. Pandangan
Negara, Kitab Suci dan Ajaran Gereja tentang Aborsi.
Hukum Negara melarang
tindakan aborsi, lebih-lebih Kitab Suci dan Ajaran Gereja sangat menentang
aborsi. Aborsi yang disengaja jelas merupakan tindakan dosa.
a. Hukum
Negara.
Upaya perlindungan terhadap bayi dalam
kandungan terwujud dalam ketentuan hukum, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), dan diatur hukumannya sesuai dengan pasal dapam KUHP, Pasal 342,
pasal 246, pasal 247, pasat 348, pasal 249
b. Ajaran
Kitab Suci
Kitab suci juga mengajarkan bahwa
manusia sudah terbentuk sebagai manusia sejak dalam kandungan ibu:
Yes 44:2: “Beginilah firman TUHAN yang menjadikan engkau, yang membentuk engkau
sejak dari kandungan dan yang menolong engkau…”
Allah sendiri mengatakan telah membentuk
kita sejak dari kandungan, artinya, sejak dalam kandungan kita sudah menjadi
manusia yang telah dipilih-Nya.
Ayb 31: 15: “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga?
Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?”
Ayub menyadari bahwa ia dan juga
orang-orang lain telah diciptakan/ dibentuk oleh Allah sejak dalam kandungan.
Yes 49, 1,5: “….TUHAN telah memanggil aku sejak dari kandungan telah menyebut namaku
sejak dari perut ibuku…. Maka sekarang firman TUHAN, yang membentuk aku sejak
dari kandungan untuk menjadi hamba-Nya, untuk mengembalikan Yakub kepada-Nya…”
Nabi Yesaya mengajarkan bahwa Allah
telah memanggilnya sejak ia masih di dalam kandungan (sesuatu yang tidak
mungkin jika ketika di dalam kandungan ia bukan manusia)
Kitab Suci mengajarkan bahwa setiap
kehidupan di dalam rahim ibu adalah ciptaan yang unik, yang sudah dikenal oleh
Tuhan:
Yer 1:5: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal
engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau,
Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Mazmur 139: 13, 15-16: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah
pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku…. Tulang-tulangku tidak
terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku
direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku
bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk,
sebelum ada satupun dari padanya.”
Gal 1:15-16: “Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan
memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam
aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka
sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia”
Luk 1:41-42: “Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di
dalam rahimnya dan Elisabetpun penuh dengan Roh Kudus lalu berseru,
“Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.”
c. Ajaran
Gereja
Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes 27,
“Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk
pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran (aborsi), eutanasia
atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi
manusia, …. apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi
hidup yang tidak layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan
orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda;
begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat
semata-mata untuk menarik keuntungan…. itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang
perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi,
perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada
mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan
kemuliaan Sang Pencipta.”
Yohanes Paulus II dalam surat
ensikliknya, Evangelium Vitae menekankan bahwa Injil Kehidupan (the Gospel of
Life) yang diterima Gereja dari Tuhan Yesus sebenarnya telah menggema di hati
semua orang. Setiap orang yang terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan akan mengenali
hukum kodrat yang tertulis di dalam hatinya (lih. 2:14-15) tentang kesakralan
kehidupan manusia dari sejak awal mula sampai akhirnya; dan dengan demikian
dapat mengakui adanya hak dari setiap orang untuk dapat hidup. Sesungguhnya
atas dasar pengakuan akan hak untuk hidup inilah setiap komunitas manusia dan
komunitas politik didirikan.
Gereja menghukum pelanggaran melawan
kehidupan manusia ini dengan hukum gereja, yakni hukuman
ekskomunikasi.”Barangsiapa yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil,
terkena ekskomunikasi “ (KHK Kanon 1398).
Untuk Para Remaja:
Usahakan supaya tidak melakukan hubungan
intim sebelum resmi menikah. Dalam berpacaran dan bertunangan sikap tahu
menahan diri merupakan tanda pengungkapan cinta yang tertempa dan tidak egoistis.
Untuk Para Keluarga :
Perencanaan kehamilan harus masak dipertimbangkan
dan dipertahankan dengan sikap ugahari dan bijaksana. Kehadiran buah kandunagan
yang tidak direncanakan harus dielakkan secara tepat dan etis.
BUNUH DIRI DAN
EUTHANASIA
Tindakan tidak
menghargai hidup yang lain adalah bunuh diri dan euthanasia, dalam bagaian ini
kita akan membaas segala sesuatu yang berkaitan dengan bunuh diri dan
euthanasia, termasuk didalamnya bagaimanakan pandangan Gereja dalam hubungannya
dengan ini.
1.
Bunuh
Diri
Bunuh
diri adalah perbuatah menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh diri
sendiri atau atas permintaannya. Banyak sebab yang yang menjadi pemicu tidakan
bunuh diri.
a.
Orang mengalami depresi atau tekanan
batin.
Perasan
tertekan, frustasi, dan bingung dapat menjadikan seseorang melakukan tindakan
bunuh diri; putus cinta, beban ekonomi keluarga yang berat, berasa hidupnya
tidak lagi bermakna, terbelit hutang.
b.
Orang Mau Melakukan Protes, sehingga
menjadikan dirinya sendiri tewas, mogok makan, membakar diri, menembak diri.
2.
Euthanasia
Euthanasia
berasal dari bahaya Yunani yang berarti “kematian yang baik (mudah)”. Kematian
dilakukan untuk membesaskan seseorang dari penderitaan yang amat berat, dengan
menyebabkan seseorang penderita mati secara pelan-pelan dan tidak terasa.
Tindakan ini juga merupakan tindakan tidak menghormati hidup. Seperti
kesenangan, penderitaan termasuk dalam hidup manusia yang mempunyai nilai dan
maknanya tersendiri. Manusia tidak dapat dilenyapkan karena penderitaan.
Ada berbagai macam
euthanasia :
1)
Dilihat dari Segi Pelakunya
a. Compulsary
Euthanasia, yaitu bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang akan
berakhir.
b. Voluntary
Euthanasia, berarti orang itu sendiri yang meminta untuk mati.
2)
Dilihat dari Segi Caranya
a. Euthanasia
aktif; mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana, juga bila
secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau euthanasia
dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri.
b. Euthanasia
non-agresif atau kadang-kadaing disebut autoeuthanasia, suatu praktek
euthanasia pasif atas permintaan. (pasian menolak dilakukan perawatan atau
pengobatan secara medis)
c. Euthanasia
pasif; pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak dimulai atau
diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya.
3)
Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin
a.
Euthanasia di luar kemauan pasien, yaitu
suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk
tetap hidup.
b. Euthanasia
secara tidak sukarela, tindakan yang dilakukan diluar sepengetahuan wali atau
keluarga yang mempunyai hak untuk membuat keputusan.
3.
Eutanasia Dalam Perspektif Moral Dan Iman Kristiani
3.1. Eutanasia:
Masalah Moral
Perlu ditegaskan lagi
bahwa eutanasia bukan hanya sekedar masalah ekonomi, hukum, dan sosial saja,
namun lebih merupakan suatu masalah moral (khususnya moral di bidang medis).
Artinya, masalah eutanasia merupakan permasalahan yang menyangkut penilaian
moral yakni persoalan “’benar’ atau ‘salah’” dan “’boleh’ atau ‘tidak boleh’”.
Eutanasia yang
dilakukan secara sadar, sengaja dan langsung sesungguhnya tidak dapat diterima
“Eutanasia, apapun
motivasinya atau sasarannya, berarti mengakhiri hidup orang cacat (handicap),
orang sakit atau orang dalam proses mati (sekarat). Secara moral tidak dapat
diterima. Demikianlah tindakan atau kelalaian yang dari sendirinya atau
dimaksudkan untuk mendatangkan kematian untuk menekan penderitaan, merupakan
pembunuhan yang bertentangan dengan martabat pribadi manusia dan ketaatan
terhadap Allah yang hidup, Penciptanya. Kesesatan penilaian yang bisa menimpa
seseorang yang berkehendak baik, tidak mengubah hakikat pembunuhan ini yang
harus ditolak dan dilenyapkan”
Gereja Katolik
menganggap eutanasia sebagai suatu tindakan yang tak bermoral. Paus Yohanes
Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae turut mempertegas
hal ini:
“Memperhatikan
distingsi-distingsi itu, selaras dengan magisterium para pendahulu kami, dan
dalam persekutuan dengan para Uskup Gereja Katolik, kami mengukuhkan, bahwa
eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia
yang disengaja dan dari sudut ‘moral’ tidak dapat diterima. Ajaran itu
didasarkan pada hukum kodrat dan sabda Allah yang termaktub, disalurkan oleh
Tradisi Gereja, dan diajarkan oleh magisterium biasa dan universal.” (EV 2)
3.2. Dasar Etika
Hidup
Menurut Franz Bockle,
sejak semula hidup manusia memerlukan suatu konvensi dasar sebagai etika hidup
bersama. Hendaknya orang menghargai dan menjaga hidup sendiri dan orang lain.
Semuanya itu hendaknya dijunjung tinggi dalam kehidupan bersama.
Hidup manusia merupakan
dasar nilai sekaligus sumber dan persyaratan yang perlu bagi semua kegiatan
manusia dan juga untuk setiap hidup bersama dalam masyarakat.
Dalam dunia medis,
Gereja melalui Piagam Pelayanan Kesehatan yang dikeluarkan tahun 1955 berusaha
untuk menjamin kesetiaan dari para pelayan kesehatan di bidang etika:
pilihan-pilihan dan prilaku yang menampilkan pengabdian kepada kehidupan.
Kesetiaan itu digariskan melalui tahap-tahap eksistensi manusiawi.
3.3. Pilihan
yang Membingungkan
Ada pepatah yang
mengatakan bahwa “hidup adalah sebuah pilihan”. Dalam kehidupan bermasyarakat,
kita sering diperhadapkan dengan pelbagai pilihan yang menyulitkan.
Pilihan-pilihan itu kerap kali memposisikan kita dalam situasi yang sulit. Kita
sering bingung dan bergejolak ketika kita harus mengambil sebuah keputusan.
Permasalahan mengenai
eutanasia menjadi salah satu kondisi konkret yang membawa kita dalam situasi
yang sulit dan serba membingungkan itu. Misalnya, ketika seorang anggota
keluarga kita dalam keadaan sakit parah, ditambah lagi dengan kemungkinan untuk
sembuh sudah tipis. Hidupnya tinggal menunggu waktu saja. Pada saat seperti
inilah pilihan yang membingungkan itu muncul dalam diri kita. Relakah kita
membiarkan orang yang kita cintai itu terus menderita? Ataukah kita akan
langsung mengakhiri hidupnya dengan tindakan eutanasia karena merasa kasihan?
Perlu diperhatikan
bahwa setiap orang terikat untuk menjalani kehidupan menurut rencana Allah.
Hidup itu dipercayakan kepadanya sebagai nilai. Hendaknya setiap orang
terbuka terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup
di surga.
Memang tak seorang pun
suka akan penderitaan dan tak seorang pun mau melihat penderitaan orang yang
dikasihinya. Tetapi ingatlah bahwa setiap orang yang telah dibaptis, ikut ambil
bagian dalam sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus.
Penderitaan bukan untuk
dihindari tetapi untuk diterima. Sakit dan penderitaan dapat menghantar orang
untuk turut merasa dekat dengan Allah. Orang akan semakin mengimani kasih Allah
yang besar yang mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal agar setiap orang yang
percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.
3.4. Tindakan
Eutanasia: Atas Dasar Etis Apa?
Bila orang mau mencari
“alasan etis” untuk kemerosotan dalam kemanusiaan yang terjadi secara
berangsur-angsur ini, mudah untuk menelusurinya pada sastra modern.
Untuk membenarkan
pembunuhan karena kasihan (eutanasia), pangkalnya ialah acuan kepada prinsip
otonomi seperti yang diungkapkan dalam Manifesto on Euthanasia pada
tahun 1974 dan dipaksakan di beberapa negara oleh permintaan “wasiat hidup”;
dalam perspektif ini, moralitasnya dipusatkan pada hal bahwa para penderita
yang tahu bahwa mereka dapat memperlakukan hidup mereka semaunya, juga mau
melakukan semaunya dengan kematian mereka.
Pada waktu disetujuinya
tindakan eutanasia oleh undang-undang Belanda, menekankan pada permintaan si
penderita. Tetapi dengan perkembangan yang ada, keinginan subyek yang jelas tak
diperhatikan lagi dan diabaikan dan kemauannya diganti oleh orang lain (orang
tua atau walinya) dengan pendapat dokter yang menafsirkannya. Dokter harus
menafsirkan rasa sakit dan sengsara pasien dan memastikan apakah kondisinya
begitu parah sehingga dapat dilakukan tindakan eutanasia atau tidak.
Bila demikian, bukan lagi
otonomi dari pasien yang diajukan, melainkan keputusan “dari luar” yang harus
dianggap etis juga bila didesak oleh orang yang mampu berpikir dewasa atas nama
subyek yang tak mampu membuat evaluasi atau permintaan: bila mengikutinya,
kematian dengan sengaja dikenakan para “orang yang diuntungkan”, sedangkan yang
mati seperti “orang yang dibunuh”: lain sama sekali dari otonomi cita rasa
belas kasih.
Jenis kebebasan yang
ada di sini adalah jenis kebebasan yang tersedia bagi orang dewasa yang
dianggap baik meskipun melaksanakannya atas mereka yang tidak mempunyai otonomi
sama sekali.
Lepas dari soal
martabat rasa sakit orang sakit dan nilai solidaritas yang ditimbulkan
penderitaan orang yang tak bersalah, apakah rasa sakit dan penderitaan harus
ditangani dengan menggunakan kekerasan kematian prematur lewat tindakan
eutanasia?
3.5. Mengapa
Eutanasia Salah?
Praktek eutanasia
adalah salah karena melanggar prinsip bahwa kehidupan itu diberikan oleh Allah.
Sesungguhnya Allah tidak menyetujui “tangan yang menumpahkan darah orang
tidak bersalah” (Ams 6:16,17). Kehidupan berasal dari Allah, oleh karena
itu adalah keputusan dari Allah untuk memberi dan mengambilnya kembali.
Tidak semua penderitaan
itu buruk, meskipun kita tidak selalu mengerti mengapa kita mengalami
penderitaan. Meski demikian, beberapa hal yang baik bisa berasal dari
penderitan itu sendiri.
Isu tentang eutanasia
muncul sebagai akibat dari murahnya hidup manusia. Eutanasia adalah akibat dari
hilangnya rasa hormat pada hidup manusia. Moralitas manusia yang bobrok menjadi
penyebab ini semua. Kalau orang mengerti dan menghormati kesucian dari hidup
manusia, maka mereka tidak akan memutuskan untuk mengakhirinya.
3.6. Eutanasia
Aktif dan Eutanasia Pasif
Pertanyaan yang sering
kali muncul dalam topik pembahasan tentang eutanasia yaitu mengenai: “bagaimana
membedakan eutanasia aktif dan eutanasia pasif, serta sejauh mana tindakan
eutanasia “dapat dibenarkan” secara moral?”
Kadang-kadang, batas
antara eutanasia aktif dan eutanasia pasif kurang jelas atau sulit untuk
dibedakan. Tetapi kalau kita lebih teliti dalam melihat pengertian dari
keduanya, maka secara singkat dapat dikatakan bahwa “eutanasia aktif
mengakhiri situasi penderitan seseorang dengan mengakhiri hidupnya, sedangkan
eutanasia pasif yaitu menunggu wafat terjadi (letting die)”
Menyangkut pertanyaan
“sejauh mana tindakan eutanasia itu dapat dibenarkan?”, kita harus mengerti
akan pandangan umum yang menilai bahwa tindakan eutanasia yang “dapat diterima”
yakni tindakan eutanasia pasif (letting die). Eutanasia pasif yaitu
tindakan yang meniadakan pemberian obat-obatan dan tindakan medis karena si
pasien sudah berada dalam keadaan kasus luar biasa (extraordinaria).
Penyakit yang diderita pasien telah dipastikan tidak dapat disembuhkan lagi,
sementara biaya medisnya terlampau tinggi serta sulitnya memperoleh obat-obatan
dan tindakan medis yang memadai.
Kalau demikian,
pertanyaan yang muncul berikutnya yaitu menyangkut otonomi si pasien dalam
menentukan kematiannya. Dalam hal ini orang harus melihat kondisi psikologis
dari si pasien. Seseorang tidak dapat seenaknya mengambil tindakan eutanasia
meskipun didasarkan atas permintaan pasien. prinsip yang harus dipegang yaitu
kesadaran pasien dalam menentukan pilihannya. Walaupun itu diungkapkan atau
diminta oleh pasien sendiri, namun jika saat itu ia masih dalam tahap
marah, apakah ini dapat dikatakan sebagai tindakan sadar dan permintaan
tulus dari pasien? Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama.
3.7. Cinta Kasih
Mengalahkan Penderitaan
“Begitu besar kasih
Allah akan dunia ini, sehingga ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh
hidup yang kekal” (Yoh 3:16)
Penderitaan bukanlah
sesuatu yang menyenangkan yang ingin dialami setiap orang, tetapi sebaliknya
orang senantiasa menghindari penderitaan karena sangat menyiksa. Salah satu
faktor utama dari tindakan eutanasia adalah orang tidak tahan melihat
penderitaan orang lain (yang dikasihinya). Hal ini menimbulkan rasa belas
kasihan yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup orang
lain tanpa penderitaan.
Sebagai orang
Kristiani, hendaknya mengambil teladan atas sikap Yesus yang mau mengorbankan
diri-Nya demi seluruh umat manusia. Cinta-Nya yang besar kepada semua orang
mengalahkan rasa sakit akibat dari penderitaan-Nya di kayu salib, sebab: “tidak
ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya
untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).
Sesungguhnya,
penderitaan manusiawi kita telah mencapai puncaknya dalam kesengsaraan Kristus,
dan pada saat yang sama telah memasuki suatu dimensi yang sama sekali baru dan
suatu tataran baru: penderitaan telah dikaitkan dengan kasih,
dengan kasih yang menciptakan kebaikan karena hasil tertinggi dari penebusan
dunia berasal dari salib Kristus.
3.8. Kematian
Kristus dan Eutanasia
Pertanyaan yang sering
muncul dan dilontarkan dalam permasalahan eutanasia terutama dari segi agama
yaitu: “’apakah kematian Yesus bukan merupakan tindakan eutanasia?’ kalau Yesus
benar-benar mau memperjuangkan hidup, mengapa ia sebaliknya pasrah menerima
salib dan akhirnya wafat?”
Dikatakan dalam Kitab
Suci khususnya dalam Injil Sinoptik bahwa Yesus tampaknya mengetahui bahwa Ia
akan menderita dan wafat (bdk. Mat 16:21-28, 17:22-23, 20:17-19 atau Mrk
8:31-9:1, 9:30-32, 10:32-34 atau Luk 9:22-27, 9:43-45, 18:31-34). Namun,
mengapa Ia tidak menghindar, sebaliknya malah memasrahkan diri dan menerima itu
semua?
Sesungguhnya para
penulis Injil mau mengatakan bahwa kedatangan Yesus ke dunia demi karya
penyelamatan dan bukan untuk menyerah apalagi bunuh diri. Kedatangan Yesus ke
dunia demi Karya Keselamatan dari Allah (bdk. Mat 16:21).
Teks Kitab Suci secara
tegas mengatakan bahwa salib Yesus merupakan konsekuensi dari perjuangan Yesus
dalam membela kehidupan manusia. Yesus yang memperjuangkan kehidupan
orang-orang yang menderita itu, kini menerima hukuman karena orang lain ingin
menang sendiri dan tidak mau melihat karya kasih Allah. Paulus mengatakan bahwa
salib merupakan kebodohan bagi orang-orang yang tidak percaya, namun merupakan
tanda dari sebuah perjuangan untuk mengupayakan suatu kehidupan (bdk. 1Kor
1:18-31).
Teks lain yang sering
diperdebatkan adalah teks dari Injil Yohanes. Dalam Injil Yohanes, dinyatakan
bahwa Yesus mempunyai kemampuan dan kuasa untuk melawan musuh-musuh-Nya.
Kenyataannya, Ia mau menerima kematian tanpa melawan. Di sini, Yohanes mau
menyatakan bahwa Yesus mau menerima penderitaan dan kematian-Nya itu, karena
dengan jalan ini, Ia dapat menyatakan kebenaran. Teologi yang tampak di sini
yaitu teologi kurban. Yesus menjadi “Kurban Perdamaian” antara Allah dan
manusia.
Salib merupakan puncak
ketaatan Yesus kepada Bapa-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh para penulis Injil
sinoptik (bdk. Luk 23:44-49 dan Mat 27:45-50 serta Mrk 15:33-37). Ketika di
salib, Yesus tetap mempertahankan kesatuan dengan Allah Bapa. Ia juga mampu
menyelesaikan tugas yang diberikan Bapa kepada-Nya. Salib diterima Yesus
sebagai jalan untuk menyatakan cinta Allah secara total kepada manusia. Ia
menerima salib dalam ketaatan penuh terhadap Bapa. Makna salib itu dirumuskan
dalam 1 Kor 15:3-5 yang mengatakan bahwa Yesus mati di salib karena dosa
manusia dan Ia dibangkitkan pada hari ketika sesuai dengan isi Kitab Suci.
Salib menjadi puncak dari ‘pengosongan diri’ Yesus: “Ia merendahkan diri,
menjadi taat sampai mati, mati di salib” (Flp 2:8). Di sini Paulus mau
memperlihatkan bahwa beriman kepada Yesus berarti mengikuti Dia dan menerima
salib, bukannya lari dari kenyataan yang ada. Tindakan eutanasia merupakan
tanda bahwa manusia lari dari kenyataan dan menghindar dari penderitaan di
salib.
COMMENTS