5 . KONSENSUS PERKAWINAN (Kan 1057) Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana suami istri saling menyer...
5.
KONSENSUS PERKAWINAN (Kan 1057)
Konsensus atau kesepakatan perkawinan adalah perbuatan
kemauan dengan mana suami istri saling menyerahkan diri dan saling menerima
untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
Itu berarti hanya konsensus yang “menciptakan” atau membuat suatu perkawinan
menjadi ada (matrimonium in fieri, terjadinya perkawinan pada saat
mempelai menyatakan konsensus)
Pada saat mempelai saling memberikan konsensus dalam perjanjian perkawinan, saat itu dimulai hidup perkawinan atau hidup berkeluarga yang akan berlaku dan berlangsung sepanjang hidup (matrimonium in facto esse, hidup berkeluarga).
Para pihak harus cakap hukum atau mempu menurut hukum
untuk membuat konsensus perkawinan (Kan 1057 $ 1), artinya mereka tidak terkena
suatu cacat psikologis apapun yang dapat meniadakan konsensus perkawinan (Kan
1095).
Konsensus harus dinyatakan secara legitim, artinya harus
dinyatakan oleh kedua pihak satu terhadap yang lain, menurut norma hukum yang
berlaku, misalnya dengan keharusan mentaati forma canonica atau
suatu bentuk tata peneguhan publik lainnya yang diakui.
Konsensus tak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun;
artinya tak ada kuasa apapun atau siapapun yang dapat dengan sewenang-wenang
dan melawan hukum membuat konsensus bagi orang lain.
6.
WEWENANG GEREJA ATAS PERKAWINAN ORANG-ORANG KATOLIK
Kanon 11 menyatakan bahwa orang yang dibaptis dalam
Gereja Katolik atau diterima di dalammya terikat oleh undang-undang yang
bersifat semata-mata gerejawi. Itu berarti mereka yang bukan Katolik, entah
dibaptis atau tidak, tidak terikat oleh undang-undang tersebut.
Namun, dalam hal perkawinan, ada semacam perkecualian.
Kanon 1059 mengatakan: “Perkawinan orang-orang Katolik, meskipun hanya satu
pihak yang Katolik, diatur tidak hanya hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum
kanonik, dengan tetap berlaku kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya
semata-mata sipil dari perkawinan itu.”
Dengan demikian jelas bahwa dalam hal perkawinan campur,
pihak non-Katolik secara tak langsung terikat oleh undang undang gerejawi
(karena harus mengikuti pasangannya yang Katolik dan yang secara langsung
terikat oleh undang-undang gerejawi).
Akibat-akibat perkawinan yang semata-mata sifatnya sipil
berada di luar kewenangan Gereja. Misalnya, Gereja tidak bisa mengatur
bagaimana harus mengurus harta warisan, harta bawaan, harta bersama,
kewarganegaraan, perubahan nama istri dengan mengikuti nama suami, dsb.
7.
SYARAT-SYARAT UNTUK SAHNYA PERKAWINAN KATOLIK
7.1. Bebas dari
Halangan-halangan Kanonik
Ada sekitar 12 halangan kanonik yang dibicarakan
secara spesifik dalam KHK 1983, yakni:
(1) Belum Mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)
Kanon 1083 $ 1 menetapkan bahwa pria sebelum berumur
genap 16 tahun, dan wanita sebelum berumur genap 14 tahun, tidak dapat menikah
dengan sah. Ketentuan batas minimal ini perlu dimengerti bersama dengan ketentuan
mengenai kematangan intelektual dan psikoseksual (Kan 1095). UU Perkawinan RI menetapkan usia minimal 19 tahun untk
pria dan 17 tahun untuk wanita.
(2) Impotensi (Kan. 1084)
Ketidakmampuan untuk melakukan hubungan seksual
suami-istri disebut impotensi. Impotensi bisa mengenai pria atau wanita.
Menurut Kan. 1084 $ 1 impotensi merupakan halangan yang menyebabkan perkawinan
tidak sah dari kodratnya sendiri, yakni jika impotensi itu ada sejak pra-nikah
dan bersifat tetap, entah bersifat mutlak ataupun relatif. Halangan impotensi merupakan halangan yang bersumber dari
hukum ilahi kodrati, sehingga tidak pernah bisa didespansasi.
(3) Ligamen / Ikatan Perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)
Menurut kodratnya perkawinan adalah penyerahan diri
timbal balik, utuh dan lestari antara seorang pria dan seorang wanita. Kesatuan
(unitas) dan sifat monogam perkawinan ini adalah salah satu sifat hakiki
perkawinan, yang berlawanan dengan perkawinan poligami atau poliandri, baik
simultan maupun suksesif. Sifat monogam perkawinan adalah tuntutan yang
bersumber dari hukum ilahi kodrat, yang tak bisa didispensasi. Kan 1085 $ 1
memberikan prinsip hukum kodrat demi sahnya perkawinan: “Adalah tidak sah
perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang terikat perkawinan sebelumnya,
meskipun perkawinan itu belum disempurnakan dengan persetubuhan.”
(4) Perkawinan Beda Agama / disparitas cultus (Kan. 1086)
Di dalam perkawinan, suami-istri bersama-sama berupaya
untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cintakasih dalam semua aspek dan dimensinya:
personal-manusiawi dan spiritual-religius sekaligus. Agar persekutuan semacam
itu bisa dicapai dengan lebih mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih
pasangan yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh sangat kuat terhadap
kesatuan lahir-batin suami-istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
Mengingat relevansi iman terhadap perkawinan sakramental
dan pengaruh perkawinan sakramental bagi kehidupan iman itulah Gereja Katolik
menginginkan agar anggotanya tidak melakukan perkawinan campur, dalam arti
menikah dengan orang non-Katolik, entah dibaptis non-Katolik (mixta religio)
maupun tidak baptis (disparitas cultus). Di samping itu, ada sebuah
norma moral dasar yang perlu diindahkan, yakni bahwa setiap orang dilarang
melakukan sesuatu yang membahayakan imannya. Iman adalah suatu nilai yang amat
tinggi, yang perlu dilindungi dengan cinta dan bakti.
(5) Tahbisan Suci (Kan. 1087)
Melalui tahbisan suci beberapa orang beriman memperoleh
status kanonik yang khusus, yakni status klerikal, yang menjadikan mereka
pelayan-pelayan rohani dalam gereja. Kan 1087 menetapkan: “Adalah tidak sah
perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan
suci”.
(6) Kaul Kemurnian Publik dan Kekal (Kan. 1088)
Seperti tahbisan suci, demikian pula hidup religius tidak
bisa dihayati bersama-sama dengan hidup perkawinan, karena seorang religius
terikat kaul kemurnian (bdk. Kan. 573 $ 2; 598 $ 1)
(7) Penculikan (Kan. 1089)
Halangan penculikan atau penahanan ditetapkan untuk
menjamin kebebasan pihak wanita, yang memiliki hak untuk menikah tanpa paksaan
apapun. Kemauan bebas adalah syarat mutlak demi keabsahan kesepakatan nikah.
(8) Pembunuhan teman perkawinan (Kan. 1090).
Ini disebut halangan kriminal conjungicide.
(9) Konsanguinitas / Hubungan Darah (Kan. 1091)
Gereja menetapkan halangan hubungan darah untuk
melindungi atau memperjuangkan nilai moral yang sangat mendasar. Pertama-tama
ialah untuk menghindarkan perkawinan incest. Hubungan ini dilarang. Hubungan
ini juga berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, psikologis, mental dan
intelektual bagi anak-anak yang dilahirkan.
Kan 1091 $ 1 menegaskan: “Tidak sahlah perkawinan antara
orang-orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah,
baik legitim maupun alami”. Kan. 1091 $ 2 menegaskan bahwa dalam garis
keturunan menyamping perkawinan tidak sah sampai dengan tingkat ke-4
inklusif.
(10) Hubungan Semenda / affinitas (Kan. 1092)
Hubungan semenda tercipta ketika dua keluarga saling
mendekatkan batas-batas hubungan kekeluargaan lewat perkawinan yang terjadi
antar anggota dari dua keluarga itu. Jadi, hubungan semenda muncul sebagai
akibat dari suatu faktor ekstern (= ikatan perkawinan), bukan faktor intern (=
ikatan darah).
Kan. 1092 menetapkan: “Hubungan semenda dalam garis lurus
menggagalkan perkawinan dalam tingkat manapun”. Secara konkret, terhalang untuk
saling menikah: a). antara menantu dan mertua [garis lurus ke atas tingkat 1],
b). antara ibu dan anak tiri laki-laki, demikian juga sebaliknya antara bapak
dan anak tiri perempuan.
(11) Kelayakan Publik (Kan. 1093)
Kelayakan publik muncul dari perkawinan yang tidak sah,
termasuk hubungan kumpul kebo (konkubinat) yang diketahui umum. Menurut Kan.
1093 halangan nikah yang timbul dari kelayakan publik dibatasi pada garis lurus
tingkat pertama antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak
wanita. Begitu juga sebaliknya.
(12) Hubungan Adopsi (Kan. 1094)
Anak yang diadopsi lewat adopsi legal memiliki status yuridis yang analog dengan status yuridis anak kandung. Kanon 1094 menyatakan: “Tidak dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat kedua.”
7.2 Adanya KONSESNSUS atau Kesepakatan Nikah
Konsensus (kan.1057 par. 2) adalah perbuatan kemauan dimanapria dan wanita saling menyerahkan diri dan salin menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.
Faktor penyebab tidak adanya konsensus: Konsensus bisa cacat atau tidak ada sama sekali oleh faktor-faktor berikut:
a. Ketidakmampuan psikologis ( Kan. 1095)
b. Tak ada pengetahuan yang cukup mengenai hakikat perkawinan (Kan. 1096)
c. Kekeliruan mengenai pribadi (Kan.1097)
d. Penipuan (Kan. 1098)
e. Kekeliruan mengenai sifat perkawinan dan martabat sakramental perkawinan (Kan. 1099)
f. Simulasi (Kan. 1101): simulasi total dan simulasi parsial (bonum prolis, bonum fidei, bonum sakramenti, bonum coniugum)
g. Konsensus bersyarat (Kan. 1102)
h. Paksaan dan ketakutan (Kan.1103)
7.3 Dirayakan dalam "FORMA CANONICA" (Kan. 1108-1123)
Forma canonica atau tata peneguhan ialah bahwa suatu perkawinan harus dirayakan dihadapan minimal 3 orang, yaitu petugas resmi gereja sebagai peneguh dan dua orang saksi.
COMMENTS