Jika Yesus adalah Mesias, mengapa jalan yang harus ditempuh adalah jalan sengsara dan wafat di salib? Simak apa makna sengsara dan wafat Yesus.
Tapi, mengapa, untuk menyelamatkan manusia, Yesus harus rela melalui jalan sengsara dan wafat di salib? Apa maknanya?
Yang harus kita ingat, peristiwa salib tidak boleh dilepaskan dari konteks pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah. Selain itu, harus dipahami bahwa peristiwa sengsara dan wafat Yesus pada akhirnya tidak akan sia-sia karena ada Kebangkitan.
Kita simak bersama ulasannya.
Wafat Yesus adalah Konsekuensi dari Pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah
Wafat Yesus tidak dapat dilepaskan dari seluruh perjalanan karya dan hidup¬Nya. Yesus sudah mengetahui risiko penderitaan dan kesengsaraan yang.akan ditanggung-Nya. Bahkan, Yesus sudah member-itahukan kepada para murid-Nya bagaimana Ia menderita, wafat, dan disalibkan. Tugas perutusan Yesus untuk mewartakan Kerajaan Allah yang dilaksanakan melalui sabda dan tindakan¬-tindakan-Nya akan membawa diri-Nya pada penderitaan.
Pewartaan Yesus dalam sabda dan tindakan-Nya sangatlah radikal. Para penguasa, tua-tua bangsa Yahudi, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat sangat tersinggung dengan segala sepak terjang Yesus. Yesus menyadari bahwa kesaksian yang paling kuat dan paling final tentang kesungguhan-Nya mewartakan Kerajaan Allah ialah kesiapan-Nya untuk mati demi pewartaan-Nya itu. Andaikata Yesus lari dari risiko atas pewartaan-Nya, tentu seluruh pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah tidak akan dipercayai lagi. Maka, Yesus harus menghadapi risiko pewartaan¬Nya dengari tegar hati.
Yesus yakin bahwa dengan sikap-Nya yang konsekuen dan berani menghadapi maut akan memberanikan semua murid dan pengikut-¬pengikut-Nya untuk di kemudian hari mewartakan dan member-ikan kesaksian tentang Kerajaan Allah, walaupun harus mempertaruhkan nyawa-Nya
Wafat Yesus sebagai Tanda Ketaatan dan Kesetiaan-Nya pada Bapa
Yesus menerima semua yang terjadi atas diri-Nya dengan rela, karena itulah yang dikehendaki oleh Allah dalam rencana penyelamatan-Nya. Yesus memandang kematian-Nya bukan sebagai nasib, melainkan sebagai kurban yang mengukuhkan Perjanjian Baru antara Allah dan umat manusia seluruhnya. Para murid Yesus diberi teladan untuk mempertaruhkan nyawa sebagai wujud kesetiaan terhadap Kerajaan Allah.
Tugas untuk mewartakan Keraj aan Allah menuntut kesetiaan dengan taruhan nyawa. Oleh karena itu, peristiwa salib yang membawa kematian Yesus bukanlah kegagalan. Peristiwa salib justru merupakan tahap yang menentukan dalam karya penyelamatan Allah. Wafat Yesus menjadi peristiwa penyelamatan yang memba¬harui hidup manusia, karena setelah wafat-Nya, Allah tidak meninggalkan Dia. Yesus dibangkitkan dari kematian. Wafat Yesus rnemperlihatkan cinta kasih Allah kepada manusia.
Yesus menyadari bahwa kematian adalah bagian dari rencana Bapa-Nya. Sabda yang dinyatakan-Nya, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh 4: 34). Yesus setia kepada kehendak Bapa-Nya, Ia taat sampai mati. Yesus mengganti ketaatan-Nya untuk ketidaktaatan kita. “Jadi, sama seperti ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang, semua orang menjadi orang yang benar” (Rm 5: 19).
Dengan ketaatan-Nya sampai mati, Yesus menyelesaikan tugas-Nya sebagai hamba yang menderita; seperti yang dikatakan dalam Yesaya,53: 10-12.
Wafat Yesus adalah Tanda Solidaritas-Nya dengan Manusia
Wafat Yesus “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan” (1 Kor 1: 23). Tetapi menurut Paulus, bagi arang-arang yang percaya akan Allah, peristi-wa Yesus disalibkan mempunyai arti baru. Untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun orang yang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmah Allah. Sebab, yang bodoh dari Allah lebih besar hikmahnya daripada manusia (1 Kor 1: 24-25). Dalam diri Yesus yang wafat disalibkan itu Allah berkarya.
Dalam peristiwa salib, kita dapat mengenal penyertaan Allah dalam hidup manusia. Allah yang berbelas kasih tidak pernah meninggalkan manusia. Sekalipun manusia mengalami kesengsaraan dan penderitaan, Allah tetap menjadi Allah beserta kita (Emmanuel). Kesengsaraan dan wafat Yesus menjadi tanda agung kehadiran Kerajaan Allah karena memberi kesaksian tentang Allah yang sebenarnya, yakni Allah yang Mahakasih.
Allah dalam diri Yesus telah solider dengan manusia. Ia telah senasib dengan manusia sampai kepada kematian, bahkan kematian yang paling hina. Tidak ada wujud solidaritas yang lebih final dan lebih hebat daripada kematian Yesus. Yesus rela mati disalib di antara dua penjahat. Ia telah menjadi manusia, sama dengan kaum tersisih dan terbuang.
Wafat Yesus Menunjukan Tanda Kasih Allah
Tak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yohanes, 15:9-17)
Wafat Yesus Menyelamatkan Manusia
Wafat Yesus yang mengerikan bukanlah kebetulan, tetapi merupakan bagian dari misted penyelamatan Allah. Kitab Suci sudah menubuatkan rencana penye¬lamatan Ilahi melalui kematian. “Hamba-Ku yang Benar” sebagai misteri pene¬busan yang universal. Santo Paulus dalam pengakuan iman menyatakan: “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita sesuai dengan Kitab Suci” (1Kor 15: 3).
Yesus mati untuk kepentingan kita. Hal ini ditegaskan melalui surat pertama Santo Petrus yang menyatakan: Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengari barang yang fana, bukan pula dengan perak dan emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat (1Ptr 1: 18-19). Santo Paulus berkata: “Dialah yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor 5: 21).
Penyerahan diri Yesus kepadaAllah telah mempersatukan kita kembali dengan Allah. Rekonsiliasi antara kita dan Allah telah terj adi berkat kematian Yesus disalib.
COMMENTS